ini cerpen, hanya fiksi kok
happy reading
happy reading
*******
Ini
cerita tentang ku bertahun-tahun lalu..
"Ibu..
mama mau kemana ?" tanyaku pada seorang gadis paruh baya di sebelahku.
Tubuhnya gendut, rambutnya keriting pendek dan wajahnya memancarkan kelembutan.
Dia adalah tetanggaku. Aku sering dititipkan, bukan lebih tepatnya, karena aku
yang ingin tinggal disana. Aku disana dari TK hingga kelas dua SD. Ah, dan aku
selalu memanggil beliau "ibu". Bagi ku
yang masih berumur tujuh tahun, dia sangat besar
"Mama
mu mau ke Jember" ucapnya sembari mengelus pelan rambut ku. Aku mengangguk kecil dan hanya memandang mobil
keluargaku keluar halaman. Kaca
jendela membuka, dan kedua orang tua ku melambaikan tangannya padaku dan pada
ibu, aku tersenyum lebar dan membalas lambaian tangan mereka. Dari tempat duduk
belakang kulihat kakakku mengeluarkan kepalanya dari jendela dan berteriak
padaku
"Dada
!" ucapnya keras, aku hanya tersenyum lebar. Ini adalah pemandangan biasa
bagiku. Aku
memandang laju mobil itu sampai bayangnya hilang dari pandangku
.
"Nah,
katanya kamu mau ke Gramedia sama mbak Hayu sama Mbak Novi. Ayo cepet mandi
!" aku ketawa dan menganggukan kepalaku. Toko buku, wow aku suka sekali.
Aku segera berlari menuju rumah tetanggaku itu, rumahnya persis di sebelah kiri
rumahku.
Mbak
Hayu adalah anak pertama dari Ibu, sedang mbak Novi adalah anak ketiga. Ibu
memiliki lima orang anak. Tiga laki-laki, dua perempuan.
Setelah dimandikan
Mbak Hayu, aku disisir dan didandan rapi, lalu kami berangkat naik Angkot.
Begitu sampai di Gramedia aku hanya menurut gandengan tangan mbak Novi. namun
mataku tak pernah berhenti berbinar memandang tumpukan buku yang disusun rapi
disana. Yang paling menarik hatiku tentu saja, buku bergambar, cerita dongeng,
tentang princess, barbie atau.. yah sejenis itulah. Aku sangat menikmati acara
memilih buku yang hampir tiap bulan ku lakukan ini. Tapi tentu saja, buku itu
takkan pernah awet ditangan ku. Pasti ku rusak, ku gunting atau ku coret-coret.
apapun yang dapat memuaskan kebosananku di rumah. Biasanya dalam sebulan aku
mendapat tiga buku baru dan kehilangan satu buku lama.
Di
tiap malam aku selalu tertidur dengan belaian lembut ibu, atau jika tidak, aku
akan minum susu sambil melihat bintang di lantai atas dekat dengan kamar
anak-anak kos, mereka mbak-mbak yang baik, kebanyakan dari mereka sekolah di
SMK Telkom. Terkadang mereka memberi permen ataupun cokelat padaku (hal ini lah
yang membuatku merasa mereka orang baik). Namun, saat ini masih liburan
semester. Mereka sedang pulang kampung, jadi di atas sini sangat sepi. Pakde
menyuruhku turun dari beranda itu. Pakde
adalah suami ibu, badannya kurus sangat
bertolak belakang dengan ibu, namun jangan salah sangka beliau sangat kuat
melebihi penampilannya.
Setelah sikat gigi,
aku segera tidur, besok aku tidak boleh kesiangan. Kata ibu besok kami akan ke
rumah saudara beliau. Jadi bisa dipastikan aku akan bertemu Edo, anak dari
tante yang akan kami kunjungi nanti, Edo sebaya denganku dan dia temanku. Aku
sangat suka bermain dengannya, dia selalu tau bagaimana cara membuatku senang.
*******
Rumahnya
di pinggir jalan raya, tidak begitu besar namun terlihat nyaman di tempati.
Warna catnya serba biru dipadukan dengan beragam pohon di halamannya, hijau
menyejukkan. Di halaman belakang, dapat
kau temukan kolam kecil penuh ikan hias yang bewarna-warni membentuk tarian
alam yang sangat indah. Dan di halaman belakang ini bukan pohon-pohon bewarna
hijau yang memanjakan matamu, namun bunga dengan keaneragaman yang berbeda.
Tersusun rapi, indah, dan memikat tentu saja. Orang tua Edo mungkin sangat
menyukai hal-hal seperti ini. Bahkan di setiap sudut rumahnya tak lepas dari
bunga, namun bukan tumbuhan asli seperti yang dihalaman. Melainkan, bunga
plastik asli tangan Tante Neti -ibu Edo-. Tante Neti juga menjadikan
keahliannya itu sebagai penghasilan, meski tidak tetap. Dia hanya menerima
pesanan. Yah, bisa dibilang dia menganggap hal ini sekedar Hobi yang
menguntungkan.
Tiap
ke rumahnya tak pernah sekalipun aku bosan duduk di halaman belakang persis
pinggir kolam, tak jarang pula aku menenggelamkan kaki ku di kolam, membiarkan
ikan-ikan mengitarinya dan membuat kaki ku geli. Itu ku lakukan, setiap
menunggu Edo selesai les. Dan pula, dari
pada aku harus mati bosan mendengarkan para kaum hawa bergosip di dalam. Jauh lebih baik aku
disini, menikmati sapuan angin yang menerpa wajahku, dingin dan menggelitik.
Aku membiarkan rambutku menari-nari lincah seirama arah angin. Membuat diriku
terbuai. Sesekali dari sebrang pagar sana terdengar suara berisik kendaraan
bermotor yang saling sahut menyahut, memekakan telinga. Namun aku tak peduli,
disini, aku tenang dengan duniaku. Bagiku deruman kendaraan-kendaraan itu bagai
musik yang menghantarkanku segera ke alam Mimpi.
Sepulang
les, pasti Edo langsung menuju ke tempat ku. Tapi aku jarang sekali
menyambutnya dengan senyuman. Karena aku hampir selalu tertidur ketika dia
pulang. Biasanya aku akan selalu mendapatinya duduk membaca buku di sebelahku.
Ya, dia selalu menungguku hingga mataku terbuka, tak mencoba mengganggu maupun
membangunkan. Baginya apapun asal aku senang. Segera aku menyisir tangan rambut ku yang hanya
berjarak dua centimeter kebawah dari telingaku. Lalu dia mulai bercerita
tentang apa yang di ketahuinya dari buku. Tak pernah aku mendapatinya
membicarakan dirinya sendiri. Namun aku selalu terterik apa yang keluar dari
mulutnya, suaranya nyaring, matanya berbinar riang khas anak kecil, tangannya
melambai-lambai sesuai alur cerita, dan tak sekalipun senyum hilang menghiasi
wajah nya. Aku mendengarnya dengan tenang, kadang tersenyum atau tertawa
melihat ekspresi lucunya ketika sedang bercerita, atau memang ketika itu bagian
yang lucu. Tawa kami riang, membahana di halaman itu, kebahagian terpancar dari
wajah kami. Dua orang bocah berumur tujuh tahun.
Pernah
suatu ketika saudara perempuannya datang ke sana. Tiara namanya, dia sebaya
denganku, satu nenek dengan Edo, ayahnya, bersaudara dengan ibu –tetanggaku-. Dia juga sangat
menyenangkan, tidak pernah membuatku bosan atau jenuh. Dia seperti Edo,
menyenangkan dan humoris. Terkadang aku heran kenapa mereka mau bermain dengan
ku. Aku ini pendiam, dan membosankan. Aku tak pernah berani mengeluarkan isi
pikiranku ke siapapun. Dan kalau aku boleh menilai diriku sendiri aku ini
sangat MEMBOSANKAN. Tak ada yang menarik. Satupun. Tidak. Terkadang aku cuma
bisa merunduk jika tak ada teman sebaya yang ku kenal di sebelah ku. Hemm ya tentu murung dan membosankan.
Kali ini Tiara dan Edo mengajakku
berpetualang. Ini kata mereka, padahal kami hanya berjalan sedikit jauh dari
rumah Edo. Tapi aku ikut saja to sepertinya menyenangkan. Kami berjalan makin
jauh dari rumah Edo. Tak sekalipun aku memperhatikan jalan yang ku lalui. Aku
tak peduli kita berbelok ke kanan atau kekiri. Aku hanya melihat pemandangan di
sekitarku. Namun aku
tak menyangka 'ketidak mau tauan ku' ini menimbulkan masalah. Awalnya kami memasuki sebuah gang
kecil, dan disini jalannya sempit. Hampir tak ada pemandangan yang menarik.
Kami berbelok-belok hingga sampai
di sebuah lapangan rumput yang nyaman. Aku baru saja ingin merebahkan badan ku
kesana kalau saja Edo dan Tiara tidak menarikku dan berkata
"Kita
kesini bukan ingin mengantarmu tidur" begitu raung Tiara di telingaku
"Ayo
kita bermain 'sleeping beauty' ? " ujar Edo sabar. Aku mengerucutkan
bibirku. Pura-pura berpikir, akan menerima tawaran mereka atau tidak. Lama..
hingga akhirnya aku... Menggeleng. Aku melanjutkan niat ku untuk tertidur.
Tiara menghembuskan nafasnya frustasi. Namun Edo menarik bibirnya membentuk
senyuman sesaat sebelum dia berbisik ke Tiara. Setelah, Tiara juga menarik bibirnya bahkan lebih
dari sekedar senyum, dia tertawa.
"Baiklah,
is" ujar Edo memulai pembicaraan
"Kami
bisa bermain sendiri, namun
permainan ini sangat menantang" Timpal Tiara sok serius. Aku berpura-pura
memejamkan mataku, seolah tak mendengar mereka.
"aturan
permainannya begini, siapa yang duluan dapat sampai di rumahku duluan dia yang
menang" terang Edo disertai anggukan puas Tiara. Aku membuka mataku,
mengernyit pada mereka berdua
"apa.."
ujar ku. Tiara dan Edo memandang ke arah ku "apa judul permainan ini ? apa
ada hadiahnya ?" tuntut ku, tak benar-benar tertarik.
"hmmm judulnya..." Tiara menyatukan
kedua alisnya berpikir "bagaimana kalau 'Temukan Rumah Edo' ?"
"lalu
hadiahnya ?"
"bagaimana
kalau empat potong mochi ?" balas Edo yakin
Aku
hampir saja menolak, aku benar-benar tidak tahu jalan pulang. Namun Edo dan
Tiara segera berlari meninggalkanku. Aku mencoba teriak, namun suara ku tidak cukup
besar untuk mereka dengar. Akhirnya
aku ikut berlari menuju tempat meraka tadi pergi. Namun, sayang aku kehilangan
jejak meraka. Aku memandang pucat tempat ku berdiri saat ini. Aku tidak tahu
harus kemana. Aku masih berumur tujuh tahun, masih ingin berada dekat orang
tuaku. Air mata menggenang di pelupuk mataku. Aku tersesat. Mungkin aku takkan
bisa bertemu mama ku lagi, bapakku, kakakku, adikku. Sabtu kemarin mungkin akan
menjadi terakhir aku melihat mereka. Aku hampir menangis membayangkannya, atau
mungkin aku sudah menangis. Aku berjalan tanpa arah, tubuh ku kumal karena
berkali-kali terjatuh, tersandung kakiku sendiri. Aku meringis kesakitan, tapi bukan ini yang paling
menyakitkan. Berbagai
bayanagan negatif menghantuiku, menyusup
di selah hatiku, dan menyesakkan ku. Mungkin aku juga hampir tidak tahu cara bernafas yang benar.
Aku segugukan, nafasku memburu, langkahku linglung tak tahu arah. Entah sudah
beberapa jam aku tersesat disini.
Aku
bahkan berharap ini hanya mimpi. Dan ketika aku membuka mataku, ternyata aku
ada di halaman belakang tertidur menunggu Edo. Namun tidak, ini nyata. Kakiku
bergetar hebat, namun aku masih berusaha mengelap air mataku. Aku berjalan
segugukan, mengatur nafasku yang tak terkendali. Aku benar-benar menyesali
segalanya. Kenapa tadi aku membuat mereka berdua marah ? atau kenapa aku tadi
tidak memperhatikan jalan ? Berbagai pertanyaan bodoh keluar dari otakku, membakar penyesalan ku.
Aku istirhat di bawah pohon beringin, rasanya sejuk.
Namun belum cukup menghentikan sakit ku. Kupandangi bajuku.. kumal.. Tanganku..
luka... Aku meringis melihat penampilanku. Mungkin cukup mengerikan, aku jamin.
Matahari makin terik, membakar kulit ku yang gelap. Jantungku makin berpacu
dalam ketegangan. Aku menutup mata dan telingaku. Air mata menetes pelan
menyusuri pipiku. Lama-lama makin deras, hingga aku sengguan lagi, namun aku
tetap menutup mataku.Menikmati tikaman di hati yang menyakitkan. Menusuk otakku
dan membunuh ku perlahan. Hingga saat itu aku mendengar sebuh seruan,
samar-samar dari jauh
“iisss.... ais !!??” samar suara itu makin mendekat
Kakiku langsung terpacu menuju sumber suara itu. Aku
berharap itu bukan ilusi. Ku harap itu benar-benar suara Edo
Aku berhenti berlari, begitu melihat nya. Tak dapat
disembunyikan wajahnya benar-benar khawatir, tubuhnya menegang. Mata nya
mengisyaratkan kelegaan begitu melihatku. Senyumnya mengembang tipis di
wajahnya
Kalau aku ? aku benar-benar senang. Ingin rasanya aku
berteriak gembira, melonjak-lonjak atau sebagainya. Aku tersenyum memamerkan
gigi ku. Dia membalas senyumku, namun matanya tertuju pada luka di sekujur
tubuhku.
“Maaf” katanya tiba-tiba, aku memiringkan kepala, heran kenapa harus minta maaf ?
“Seharusnya aku ingat kamu buta arah, seharusnya aku
tidak mengusulkan permainan ini. Maaf.. maaf” aku dapat mendengar ketulusan di
tiap katanya. Aku tahu dia menyesal
“Tentu” ujarku “sekarang
dimana Tiara ?”
“Kami berpencar, dia di lapangan. Berharap kamu masih
tidur disana” mendengarnya sontak kami tertawa
Kali ini air mata ku benar-benar hilang, wajah ku ceria
di tiap jalan yang ku tapaki. Tadi aku benar-benar membuat seisi rumah
khawatir. Bahkan tadi, tiara sampai menangis menganggap ku hilang. Ibu dan
tante Neti yang tidak tahu apa-apa sontak berlonjat kaget mendengar aku
tersesat. Mas Julwat -anak ibu yang paling muda-, hanya tertawa heran
mengetahuinya. Mbak-mabak ku hanya menggeleng pasrah. Dasar anak kecil. Pikir
mereka
Saat ini ibu sedang mengobati lukaku. Perih, sangat.
Ketika Betadine menempel di lukaku, aku menjerit pelan, memberontak. Kalau saja
Edo tidak menenangkanku mungkin aku sudah berlari kabur.
“ayo, anak manis biar tidak ada bekas lukanya, ayo di
obati” suaranya yang cempreng mengalun indah di telingaku, menyabarkan ku agar
tidak kabur dan bersembunyi.
Entahlah bersamnya aku selalu tentram. Bagiku dia
pahlawanku yang membentengi ketakutan dalam diriku. Penyokongkong ketika aku
tak bisa melakukan apa-apa. Mentari di lubang gelap hati ku, ketika aku
kesepian dan membutuhkan seseorang. Ketika mereka-orang tuaku- jauh tak
disampingku.
*******
Mbak hayu. Mungkin hari ini adalah hari yang paling
mendebarkan baginya, solah kebahagiaan menyelimuti dirinya, tak sekalipun
senyum surut dari wajahnya. Berbeda dengan saudara-saudaranya yang sibuk ini-itu menyiapkan segalanya. Dia akan
menikah. Mbak yang paling dekat dengan ku ini akan menikah. Beberapa jam lagi
semua akan tahu. Dia ada yang memiliki. Dia akan menjadi ratu untuk hari ini. Hari-nya
kebahagiaan-nya.
Mabak hayu di dandan sangat cantik. Kulitnya yang putih
dipoles indah dengan make-up yang glamour, membuatnya seolah bersinar. Di
sudut matanya, tak dapat ia mengelakkan kebahagiaan yang terpancar. Kini dia
akan bersatu dengan orang pilihannya. Belahan jiwanya.
Di sana, di kursi kecil sebelah kiri mempelai. Tiara
duduk memegang kipas ungu yang besar. Wajahnya makin cantik di poles make-up natural. Senyumnya simpul menunjukan
ke anggunan. Dia layak putri kecil dalam manten
ini. Di sebelah kanan terdapat sesosok kurus gadis kecil, kulitnya hitam
manis. Namun masih kalah jauh dengan Tiara. Entah siapa gadis itu. Matanya
berbinar tak sedikit pun menunjukan kegelisahan. Sepertinya dia gadis yang yang
menarik. Namun aku tak lama melihat acara itu. Baru sebentar, aku harus pergi.
Nenekku -dari bapak- sakit, jadi bapak segera ingin menjenguk beliau. Padahal aku belum bertemu dengannya. Pikirku,
tapi bapak benar. Keadaan nenek harus lebih di utamakan. Dan aku sangat lega
ketika tahu nenek tidak separah dugaan ku.
*******
Kata-kata mama kemarin masih berdengung riang di
kepalaku, seolah itu adalah kaset rusak yang berputar-putar di otakku
“Ais..” ujar mama membuka pembicaraan. Aku langsung
menghampirinya, mama mengisyaratkan agar aku duduk disebelahnya. Aku segera
duduk, namun badan ku menegang tidak ada sepintas pun keinginan untuk bersandar
di sofa
“kamu sudah tahu kan, mbak hayu sudah menikah, kamu tahu
itu dan sudah melihat acaranya sendiri” selembut mungkin mama berbicara. Aku
menganguk pelan, masih was-was .
“sekarang adik mu sudah besar, mama rasa kamu sudah tidak
perlu dititipkan di sana lagi” nafas ku tercekat “mama rasa mama mampu merawat
kalian bertiga” entah apa ekspresi ku saat itu. Namun mama tahu kegelisahan ku,
mengelus lembut kepalaku
“kamu bisa kesana saja kapan punn kau mau, asal tidak
menginap” tapi tidak dengan
Edo !! jerit ku tertahan. Namun aku hanya diam. Aku tahu percuma jika aku
bicara apapun. Tanpa guna, hanya menghabiskan tenaga dan emosi.
“ya ma” jawabku yang tak lebih dari sekedar bisikan.
Namun aku yakin mama dapat dengan jelas mendengar suara ku.
*******
Bertahun-tahun berlalu, kini aku sedang menghadapi
krisis. Ujung kewarasan ku sedang
berada di depan mata. Aku sedang menghadapi secarik amplop yang akan menyatakan
kelulusan ku. Aku memandangnya dengan jantung yang berdebar secepat mungkin.
Mata ku mendelik, bibir ku bergerak-gerak menyebut asama Allah. Tangan ku
dingin bergetar. Sesekali aku melirik mama ku yang berada tak jauh dari kursi,
memandang ku penuh harap. Ketika amplop ku buka aku langsung menggeleng pelan,
sorot mataku berubah sendu. Kekecewaan segera menyergap dalam benakku. Aku
seolah tak mendengar teriakkan bahagia, teman-teman di sekelilingku. Kebanyakan
dari mereka cukup puas dengan nilai yang ‘pas-pasan’. Sedang aku ? mungkin aku
satu-satunya yang tidak bahagia menghadapi kelulusan ku. Bagaimana bisa dengan
Num total 25,70. Benar-benar nilai yang pas untuk kemalasan yang ku perbuat.
Setengah mati aku heran dengan teman-teman ku yang gembiranya bukan main dengan
Num rata-rata enam atau tujuh merepet.
Aku sanksi, mereka tak memiliki kewarasan jiwa sekarang. Ketika memberi tahu
nilai ku pada mama, tak sekalipun aku berani menatap matanya. Takut jika
pancaran kekecewaan-nya tertangkap mata ku. Dan aku, iri setengah mati dengan
Dhita, sahabat ku. Selain sudah diterima secara mandiri oleh SMPN 1 dia
mendapat NUM 27.00, tak sedikit pun pancaran kebahagiaan surut dari matanya.
Tidak seperti Dhita yang sudah tahu pasti dia akan
bersekolah dimana, saat ini aku sedang kalang-kabutnya.
Aku juga tidak seperti Karin yang meski hanya memiliki Num 24.45 dia sudah di
pastikan akan masuk SMP 21. Tempat dimana ibunya bekerja sebagai karyawan tata
usaha. Aku mendesah kecewa, seolah harapan ku telah terkubur hidup-hidup
disini.
Padahal aku selalu berharap dapat sekolah di SMP yang
bagus, karena aku yakin Edo pasti sekolah di sekitar –kalo gak smp 3 ya 1- aku selalu yakin akan hal itu. Dilihat dari
kecerdasaannya, itu takkan mustahil. Namun dari dua kategori SMP itu, tak
satupun aku masuk di salah satunya. Padahal aku sangat mengharapkan hal itu,
ketika aku dan dia satu sekolahan
Edo, namanya masih jelas terpatri dalam benakku. Nama itu
bagaikan harta di lautan hati yang biru. Indah nan terjaga. Kenangannya masih
hangat ku rasa, menyelimuti tubuh ku, menyentuh sanubari ku. Dan memberiku
keindahannya. Dia adalah sebuah keindahaan fana
yang kumiliki.
Akhirnya aku masuk SMP 20, tak lagi kumiliki guratan
kekecewaan itu dalam hati ku. Aku menerimanya, apa yang seharusnya ku terima
atas segala yang kulakukan. Aku menjalani hari ku dengan segala kesibukan.
Hingga aku hampir sampai lupa akan Edo.
*******
Entahlah aku tidak kaget, mendapati dua sahabat SD ku bertengger di kasur ku. Sangat rapi
hingga sepraiku hampir lepas dari habitat-nya.
Mereka adalah Dhita dan Karin. Dua orang yang paling dekat denganku saat ini.
Setelah aku menaruh tas, dan mengambil tiga aqua gelas untuk mereka. Aku segera
menanyakan maksud mereka kesini. Tumben banget, biasanya hanya lewat sms atau
telepon.
“Dhita udah jadian lho is” seru Karin riang, ketara
banget yang diincarnya adalah PeJe. Namun aku juga tidak dapat menyembukan
keterkejutan ku
Belum habis rasa syokku Dhita langsung menyuruhku ganti
baju, dia ingin meneraktir kami. Di tengah perjalan aku tak henti-hentinya
memohon pada Dhita untuk memberi tahu siapa si do’i. Tapi dasar Dhita, dia
terlalu keras pada pendiriannya. Tapi aku tahu satu hal. Pokoknya lelaki itu
satu sekolah sengan Dhita.
Tapi hari ini sungguh aku terpana pada penampilan yang
Dhita. Dia memakai gaun terusan panjang selutut bewarna merah marun, dipadukan
dengan kulitnya yang putih sungguh menabjubkan, apalagi dia tinggi dan
mempunyai wajah yang asli cantik, menambah pas penampilannya. Dia mengecat
kukunya dengan warna krem,
menambahkan sedikit blush-on di pipi nya. Membuat pipinya yang putih menjadi
memerah. Menawan. Pikirku. Apalagi rambutnya yang di gulung menampkkan
tengkuknya. Bahkan menurut ku penampilan ini terlalu berani untuk anak seumurannya. Huh sejak kapan dia jadi
pintar dandan ? padahal aku dan Karin hanya mengenakkan kaos oblong biasa
dipadukan dengan celana jins panjang. Bahkan aku menambahkan balutan jaket yang
mungkin agak kurang enak di pandang karena terlalu tebal di tubuhku.
Ternyata kami di teraktir di kampoeng stiek. Tak lama
setelah kami duduk, bunyi deruman motor berhenti, terparkir di tempat ini. Aku
yang sedang mengamati daftar menu tidak begitu memperhatikan, tambahan satu
orang di antara kami
“hai” sapanya, mencoba mencairkan suasana. Mendengar
suara itu aku langsung terlonjak kaget. Jantungku tak henti-hentinya
mempercepat laju kerjanya. Mataku tidak berkedip memandangnya. Laki-laki di
depan ku ini, persis, bukan sama malah !! dia harta karun ku, kebahagiaan ku,
kenangan ku. Dia.. EDO !! nafas ku tercekat, mungkin lupa cara menarik nafas yang
benar.
Dia masih hampir sama dengan yang dulu, kuitnya masih
putih. Masa terdapat kejenakaan di matanya. Bedanya, dia makin tinggi, suaranya
memberat, namun ada satu hal yang paling aku sukai belum berubah darinya.
Senyumnya, masih semenawan dulu. Kata-katanya tetap manis, malah lebih manis
ketika ia berbicara dengan Dhita, daripada dengan ku dulu. Tapi itu menyesakkan
ku. Meski aku tak tahu kenapa. Api membakar dadaku perlahan, menghanguskan
segalanya hingga tak berbekas
Tak ada yang sadar dengan perubahan emosi ku. Namun aku
bersyukur, runyam menerangkannya. Sebenarnya aku berharap Edo saja yang
menceritakan tentang ‘kita’. Namun
harap hanya sekedar harap. Karena kini rasanya duniaku berpijak serta merta
hancur, semua pandang ku gelap. Tubuhku kaku tak merespons otak.
“namaku Edo” katanya memperkenalkan diri seraya
mengulurkan tangannya padaku. Sangat sopan, yang sebenarnya tak pantas ku
dapatkan
Tapi masa bodoh di bilang nggak sopan tau apa. Aku hanya
membalas sapanya masam “ais” balas ku dengan segala kemarahan yang membuncah di
dadaku. Aku pura-pura tak melihat pandangan Dhita terhadap ku, begitu
mencengkram dan emmm.. menakutkan.
Namun, amarah ku mengalah kan itu semua. Dalam percakapan
kami, sengaja ku jelaskan ciri-ciriku semua, hal yang ku kira Edo pasti bakal
tahu. Namun, dia melupakkannya. Kurasakan berbagai kenangan kini mengahantam
tubuh ku. Mengiris bagaian hatiku kecil-kecil, meninggalkan bekas luka yang
dalam.
Aku tak berniat menceritakan diriku padanya secara paksa.
Karena yang kuingin dia mengingat ku sendiri. Asli dari lubuk hatinya. Namun
itu mustahil, karena aku baginya hanyalah sebuah angin lalu yang pernah
memasuki hatinya. Yang tak pernah meninggalkan bekas dalam langkahnya. Aku
bukan lagi siapa baginya, selain teman pacarnya
Ingatan ku kembali ketika itu, ketika ia memanggilku
dengan suara cemprengnya, ketika aku dan dia tertawa bersama, segalanya dengan
dia. Saat ini semua itu bagai mimpi. Air mata ku tertahan di pelupuk. Membuat
ku tak berani memandangnya. Karena jika terjadi saat itu juga aku bagai
terhunus pedang tajam yang akan langsung membunuhku seketika.
Aku tak peduli dia pacaran dengan temanku, dan bukan
karena itu aku marah. Aku hanya.. terluka. Mungkin kata itu sangat tepat terluka. Aku merasa seperti di khianati
oleh teman yang paling ku percaya. Buat apa penantian ku selama ini ? hanya
untuk di lupakan kah ? menyakitkan, bahkan aku tak percaya itu terjadi padaku.
Terlalu tiba-tiba dan sekejab. Tak sedikit pun aku memprekdisi hal ini. Karena
takdir memang sebuah kejutan, entah itu menyakitkan maupun menyenangkan. Namun
waktu yang akan melenyap kan dua hal itu darimu, dia akan mengobati bekas luka
mu, melenyapkan kegembiraan dari hati mu. Dan dia pula yang membuat Edo, lupa
padaku. Semua ini karena waktu mengubah segalanya. Biarlah untuk kali ini aku hanya menyalahkan
waktu karena aku tak tahu lagi, apa dan siapa yang bisa ku salahkan. Aku hanya
ingin menghibur diriku sendiri, hingga nanti. Sampai waktu yang akan
membereskannya dan dengan perlahan menutup lubang kecil di hati ku.
real made me ^^
BalasHapus