Jumat, 26 Oktober 2012

KARENA WAKTU

ini cerpen, hanya fiksi kok
happy reading




*******

Ini cerita tentang ku bertahun-tahun lalu..

"Ibu.. mama mau kemana ?" tanyaku pada seorang gadis paruh baya di sebelahku. Tubuhnya gendut, rambutnya keriting pendek dan wajahnya memancarkan kelembutan. Dia adalah tetanggaku. Aku sering dititipkan, bukan lebih tepatnya, karena aku yang ingin tinggal disana. Aku disana dari TK hingga kelas dua SD. Ah, dan aku selalu memanggil beliau "ibu". Bagi ku yang masih berumur tujuh tahun, dia sangat besar
"Mama mu mau ke Jember" ucapnya sembari mengelus pelan rambut ku.  Aku mengangguk kecil dan hanya memandang mobil keluargaku keluar halaman. Kaca jendela membuka, dan kedua orang tua ku melambaikan tangannya padaku dan pada ibu, aku tersenyum lebar dan membalas lambaian tangan mereka. Dari tempat duduk belakang kulihat kakakku mengeluarkan kepalanya dari jendela dan berteriak padaku
"Dada !" ucapnya keras, aku hanya tersenyum lebar. Ini adalah pemandangan biasa bagiku. Aku memandang laju mobil itu sampai bayangnya hilang dari pandangku
.
"Nah, katanya kamu mau ke Gramedia sama mbak Hayu sama Mbak Novi. Ayo cepet mandi !" aku ketawa dan menganggukan kepalaku. Toko buku, wow aku suka sekali. Aku segera berlari menuju rumah tetanggaku itu, rumahnya persis di sebelah kiri rumahku.
Mbak Hayu adalah anak pertama dari Ibu, sedang mbak Novi adalah anak ketiga. Ibu memiliki lima orang anak. Tiga laki-laki, dua perempuan.
Setelah dimandikan Mbak Hayu, aku disisir dan didandan rapi, lalu kami berangkat naik Angkot. Begitu sampai di Gramedia aku hanya menurut gandengan tangan mbak Novi. namun mataku tak pernah berhenti berbinar memandang tumpukan buku yang disusun rapi disana. Yang paling menarik hatiku tentu saja, buku bergambar, cerita dongeng, tentang princess, barbie atau.. yah sejenis itulah. Aku sangat menikmati acara memilih buku yang hampir tiap bulan ku lakukan ini. Tapi tentu saja, buku itu takkan pernah awet ditangan ku. Pasti ku rusak, ku gunting atau ku coret-coret. apapun yang dapat memuaskan kebosananku di rumah. Biasanya dalam sebulan aku mendapat tiga buku baru dan kehilangan satu buku lama.
Di tiap malam aku selalu tertidur dengan belaian lembut ibu, atau jika tidak, aku akan minum susu sambil melihat bintang di lantai atas dekat dengan kamar anak-anak kos, mereka mbak-mbak yang baik, kebanyakan dari mereka sekolah di SMK Telkom. Terkadang mereka memberi permen ataupun cokelat padaku (hal ini lah yang membuatku merasa mereka orang baik). Namun, saat ini masih liburan semester. Mereka sedang pulang kampung, jadi di atas sini sangat sepi. Pakde menyuruhku turun  dari beranda itu. Pakde adalah suami ibu, badannya kurus  sangat bertolak belakang dengan ibu, namun jangan salah sangka beliau sangat kuat melebihi penampilannya.
Setelah sikat gigi, aku segera tidur, besok aku tidak boleh kesiangan. Kata ibu besok kami akan ke rumah saudara beliau. Jadi bisa dipastikan aku akan bertemu Edo, anak dari tante yang akan kami kunjungi nanti, Edo sebaya denganku dan dia temanku. Aku sangat suka bermain dengannya, dia selalu tau bagaimana cara membuatku senang.

*******

Rumahnya di pinggir jalan raya, tidak begitu besar namun terlihat nyaman di tempati. Warna catnya serba biru dipadukan dengan beragam pohon di halamannya, hijau menyejukkan. Di halaman belakang,  dapat kau temukan kolam kecil penuh ikan hias yang bewarna-warni membentuk tarian alam yang sangat indah. Dan di halaman belakang ini bukan pohon-pohon bewarna hijau yang memanjakan matamu, namun bunga dengan keaneragaman yang berbeda. Tersusun rapi, indah, dan memikat tentu saja. Orang tua Edo mungkin sangat menyukai hal-hal seperti ini. Bahkan di setiap sudut rumahnya tak lepas dari bunga, namun bukan tumbuhan asli seperti yang dihalaman. Melainkan, bunga plastik asli tangan Tante Neti -ibu Edo-. Tante Neti juga menjadikan keahliannya itu sebagai penghasilan, meski tidak tetap. Dia hanya menerima pesanan. Yah, bisa dibilang dia menganggap hal ini sekedar Hobi yang menguntungkan.
Tiap ke rumahnya tak pernah sekalipun aku bosan duduk di halaman belakang persis pinggir kolam, tak jarang pula aku menenggelamkan kaki ku di kolam, membiarkan ikan-ikan mengitarinya dan membuat kaki ku geli. Itu ku lakukan, setiap menunggu Edo selesai les. Dan pula, dari pada aku harus mati bosan mendengarkan para kaum hawa bergosip di dalam. Jauh lebih baik aku disini, menikmati sapuan angin yang menerpa wajahku, dingin dan menggelitik. Aku membiarkan rambutku menari-nari lincah seirama arah angin. Membuat diriku terbuai. Sesekali dari sebrang pagar sana terdengar suara berisik kendaraan bermotor yang saling sahut menyahut, memekakan telinga. Namun aku tak peduli, disini, aku tenang dengan duniaku. Bagiku deruman kendaraan-kendaraan itu bagai musik yang menghantarkanku segera ke alam Mimpi.
Sepulang les, pasti Edo langsung menuju ke tempat ku. Tapi aku jarang sekali menyambutnya dengan senyuman. Karena aku hampir selalu tertidur ketika dia pulang. Biasanya aku akan selalu mendapatinya duduk membaca buku di sebelahku. Ya, dia selalu menungguku hingga mataku terbuka, tak mencoba mengganggu maupun membangunkan. Baginya apapun asal aku senang. Segera aku menyisir tangan rambut ku yang hanya berjarak dua centimeter kebawah dari telingaku. Lalu dia mulai bercerita tentang apa yang di ketahuinya dari buku. Tak pernah aku mendapatinya membicarakan dirinya sendiri. Namun aku selalu terterik apa yang keluar dari mulutnya, suaranya nyaring, matanya berbinar riang khas anak kecil, tangannya melambai-lambai sesuai alur cerita, dan tak sekalipun senyum hilang menghiasi wajah nya. Aku mendengarnya dengan tenang, kadang tersenyum atau tertawa melihat ekspresi lucunya ketika sedang bercerita, atau memang ketika itu bagian yang lucu. Tawa kami riang, membahana di halaman itu, kebahagian terpancar dari wajah kami. Dua orang bocah berumur tujuh tahun.
Pernah suatu ketika saudara perempuannya datang ke sana. Tiara namanya, dia sebaya denganku, satu nenek dengan Edo, ayahnya, bersaudara dengan ibu –tetanggaku-. Dia juga sangat menyenangkan, tidak pernah membuatku bosan atau jenuh. Dia seperti Edo, menyenangkan dan humoris. Terkadang aku heran kenapa mereka mau bermain dengan ku. Aku ini pendiam, dan membosankan. Aku tak pernah berani mengeluarkan isi pikiranku ke siapapun. Dan kalau aku boleh menilai diriku sendiri aku ini sangat MEMBOSANKAN. Tak ada yang menarik. Satupun. Tidak. Terkadang aku cuma bisa merunduk jika tak ada teman sebaya yang ku kenal di sebelah ku. Hemm ya tentu murung dan membosankan.
Kali ini Tiara dan Edo mengajakku berpetualang. Ini kata mereka, padahal kami hanya berjalan sedikit jauh dari rumah Edo. Tapi aku ikut saja to sepertinya menyenangkan. Kami berjalan makin jauh dari rumah Edo. Tak sekalipun aku memperhatikan jalan yang ku lalui. Aku tak peduli kita berbelok ke kanan atau kekiri. Aku hanya melihat pemandangan di sekitarku. Namun aku tak menyangka 'ketidak mau tauan ku' ini menimbulkan masalah. Awalnya kami memasuki sebuah gang kecil, dan disini jalannya sempit. Hampir tak ada pemandangan yang menarik. Kami berbelok-belok hingga sampai di sebuah lapangan rumput yang nyaman. Aku baru saja ingin merebahkan badan ku kesana kalau saja Edo dan Tiara tidak menarikku dan berkata
"Kita kesini bukan ingin mengantarmu tidur" begitu raung Tiara di  telingaku
"Ayo kita bermain 'sleeping beauty' ? " ujar Edo sabar. Aku mengerucutkan bibirku. Pura-pura berpikir, akan menerima tawaran mereka atau tidak. Lama.. hingga akhirnya aku... Menggeleng. Aku melanjutkan niat ku untuk tertidur. Tiara menghembuskan nafasnya frustasi. Namun Edo menarik bibirnya membentuk senyuman sesaat sebelum dia berbisik ke Tiara. Setelah, Tiara juga menarik bibirnya  bahkan lebih dari sekedar senyum, dia tertawa.
"Baiklah, is" ujar Edo memulai pembicaraan
"Kami bisa bermain sendiri, namun permainan ini sangat menantang" Timpal Tiara sok serius. Aku berpura-pura memejamkan mataku, seolah tak mendengar mereka.
"aturan permainannya begini, siapa yang duluan dapat sampai di rumahku duluan dia yang menang" terang Edo disertai anggukan puas Tiara. Aku membuka mataku, mengernyit pada mereka berdua
"apa.." ujar ku. Tiara dan Edo memandang ke arah ku "apa judul permainan ini ? apa ada hadiahnya ?" tuntut ku, tak benar-benar tertarik.
            "hmmm judulnya..." Tiara menyatukan kedua alisnya berpikir "bagaimana kalau 'Temukan Rumah Edo' ?"
"lalu hadiahnya ?"
"bagaimana kalau empat potong mochi ?" balas Edo yakin
Aku hampir saja menolak, aku benar-benar tidak tahu jalan pulang. Namun Edo dan Tiara segera berlari meninggalkanku. Aku mencoba teriak, namun suara ku tidak cukup besar untuk mereka dengar.  Akhirnya aku ikut berlari menuju tempat meraka tadi pergi. Namun, sayang aku kehilangan jejak meraka. Aku memandang pucat tempat ku berdiri saat ini. Aku tidak tahu harus kemana. Aku masih berumur tujuh tahun, masih ingin berada dekat orang tuaku. Air mata menggenang di pelupuk mataku. Aku tersesat. Mungkin aku takkan bisa bertemu mama ku lagi, bapakku, kakakku, adikku. Sabtu kemarin mungkin akan menjadi terakhir aku melihat mereka. Aku hampir menangis membayangkannya, atau mungkin aku sudah menangis. Aku berjalan tanpa arah, tubuh ku kumal karena berkali-kali terjatuh, tersandung kakiku sendiri. Aku meringis kesakitan, tapi bukan ini yang paling menyakitkan. Berbagai bayanagan negatif  menghantuiku, menyusup di selah hatiku, dan menyesakkan ku. Mungkin aku juga hampir tidak tahu cara bernafas yang benar. Aku segugukan, nafasku memburu, langkahku linglung tak tahu arah. Entah sudah beberapa jam aku tersesat disini.
Aku bahkan berharap ini hanya mimpi. Dan ketika aku membuka mataku, ternyata aku ada di halaman belakang tertidur menunggu Edo. Namun tidak, ini nyata. Kakiku bergetar hebat, namun aku masih berusaha mengelap air mataku. Aku berjalan segugukan, mengatur nafasku yang tak terkendali. Aku benar-benar menyesali segalanya. Kenapa tadi aku membuat mereka berdua marah ? atau kenapa aku tadi tidak memperhatikan jalan ? Berbagai pertanyaan bodoh keluar dari otakku, membakar penyesalan ku.
Aku istirhat di bawah pohon beringin, rasanya sejuk. Namun belum cukup menghentikan sakit ku. Kupandangi bajuku.. kumal.. Tanganku.. luka... Aku meringis melihat penampilanku. Mungkin cukup mengerikan, aku jamin. Matahari makin terik, membakar kulit ku yang gelap. Jantungku makin berpacu dalam ketegangan. Aku menutup mata dan telingaku. Air mata menetes pelan menyusuri pipiku. Lama-lama makin deras, hingga aku sengguan lagi, namun aku tetap menutup mataku.Menikmati tikaman di hati yang menyakitkan. Menusuk otakku dan membunuh ku perlahan. Hingga saat itu aku mendengar sebuh seruan, samar-samar dari jauh
“iisss.... ais !!??” samar suara itu makin mendekat
Kakiku langsung terpacu menuju sumber suara itu. Aku berharap itu bukan ilusi. Ku harap itu benar-benar suara Edo
Aku berhenti berlari, begitu melihat nya. Tak dapat disembunyikan wajahnya benar-benar khawatir, tubuhnya menegang. Mata nya mengisyaratkan kelegaan begitu melihatku. Senyumnya mengembang tipis di wajahnya
Kalau aku ? aku benar-benar senang. Ingin rasanya aku berteriak gembira, melonjak-lonjak atau sebagainya. Aku tersenyum memamerkan gigi ku. Dia membalas senyumku, namun matanya tertuju pada luka di sekujur tubuhku.
“Maaf” katanya tiba-tiba, aku memiringkan kepala, heran kenapa harus minta maaf ?
“Seharusnya aku ingat kamu buta arah, seharusnya aku tidak mengusulkan permainan ini. Maaf.. maaf” aku dapat mendengar ketulusan di tiap katanya. Aku tahu dia menyesal
“Tentu”  ujarku “sekarang dimana Tiara ?”
“Kami berpencar, dia di lapangan. Berharap kamu masih tidur disana” mendengarnya sontak kami tertawa
Kali ini air mata ku benar-benar hilang, wajah ku ceria di tiap jalan yang ku tapaki. Tadi aku benar-benar membuat seisi rumah khawatir. Bahkan tadi, tiara sampai menangis menganggap ku hilang. Ibu dan tante Neti yang tidak tahu apa-apa sontak berlonjat kaget mendengar aku tersesat. Mas Julwat -anak ibu yang paling muda-, hanya tertawa heran mengetahuinya. Mbak-mabak ku hanya menggeleng pasrah. Dasar anak kecil. Pikir mereka
Saat ini ibu sedang mengobati lukaku. Perih, sangat. Ketika Betadine menempel di lukaku, aku menjerit pelan, memberontak. Kalau saja Edo tidak menenangkanku mungkin aku sudah berlari kabur.
“ayo, anak manis biar tidak ada bekas lukanya, ayo di obati” suaranya yang cempreng mengalun indah di telingaku, menyabarkan ku agar tidak kabur dan bersembunyi.
Entahlah bersamnya aku selalu tentram. Bagiku dia pahlawanku yang membentengi ketakutan dalam diriku. Penyokongkong ketika aku tak bisa melakukan apa-apa. Mentari di lubang gelap hati ku, ketika aku kesepian dan membutuhkan seseorang. Ketika mereka-orang tuaku- jauh tak disampingku.

*******


Mbak hayu. Mungkin hari ini adalah hari yang paling mendebarkan baginya, solah kebahagiaan menyelimuti dirinya, tak sekalipun senyum surut dari wajahnya. Berbeda dengan saudara-saudaranya yang sibuk ini-itu menyiapkan segalanya. Dia akan menikah. Mbak yang paling dekat dengan ku ini akan menikah. Beberapa jam lagi semua akan tahu. Dia ada yang memiliki. Dia akan menjadi ratu untuk hari ini. Hari-nya kebahagiaan-nya.

Mabak hayu di dandan sangat cantik. Kulitnya yang putih dipoles indah dengan make-up yang glamour, membuatnya seolah bersinar. Di sudut matanya, tak dapat ia mengelakkan kebahagiaan yang terpancar. Kini dia akan bersatu dengan orang pilihannya. Belahan jiwanya.
Di sana, di kursi kecil sebelah kiri mempelai. Tiara duduk memegang kipas ungu yang besar. Wajahnya makin cantik di poles make-up natural. Senyumnya simpul menunjukan ke anggunan. Dia layak putri kecil dalam manten ini. Di sebelah kanan terdapat sesosok kurus gadis kecil, kulitnya hitam manis. Namun masih kalah jauh dengan Tiara. Entah siapa gadis itu. Matanya berbinar tak sedikit pun menunjukan kegelisahan. Sepertinya dia gadis yang yang menarik. Namun aku tak lama melihat acara itu. Baru sebentar, aku harus pergi. Nenekku -dari bapak- sakit, jadi bapak segera ingin menjenguk beliau. Padahal aku belum bertemu dengannya. Pikirku, tapi bapak benar. Keadaan nenek harus lebih di utamakan. Dan aku sangat lega ketika tahu nenek tidak separah dugaan ku.


*******

Kata-kata mama kemarin masih berdengung riang di kepalaku, seolah itu adalah kaset rusak yang berputar-putar di otakku
“Ais..” ujar mama membuka pembicaraan. Aku langsung menghampirinya, mama mengisyaratkan agar aku duduk disebelahnya. Aku segera duduk, namun badan ku menegang tidak ada sepintas pun keinginan untuk bersandar di sofa
“kamu sudah tahu kan, mbak hayu sudah menikah, kamu tahu itu dan sudah melihat acaranya sendiri” selembut mungkin mama berbicara. Aku menganguk pelan, masih was-was .
“sekarang adik mu sudah besar, mama rasa kamu sudah tidak perlu dititipkan di sana lagi” nafas ku tercekat “mama rasa mama mampu merawat kalian bertiga” entah apa ekspresi ku saat itu. Namun mama tahu kegelisahan ku, mengelus lembut kepalaku
“kamu bisa kesana saja kapan punn kau mau, asal tidak menginap”            tapi tidak dengan Edo !! jerit ku tertahan. Namun aku hanya diam. Aku tahu percuma jika aku bicara apapun. Tanpa guna, hanya menghabiskan tenaga dan emosi.
“ya ma” jawabku yang tak lebih dari sekedar bisikan. Namun aku yakin mama dapat dengan jelas mendengar suara ku.

*******

Bertahun-tahun berlalu, kini aku sedang menghadapi krisis. Ujung kewarasan ku sedang berada di depan mata. Aku sedang menghadapi secarik amplop yang akan menyatakan kelulusan ku. Aku memandangnya dengan jantung yang berdebar secepat mungkin. Mata ku mendelik, bibir ku bergerak-gerak menyebut asama Allah. Tangan ku dingin bergetar. Sesekali aku melirik mama ku yang berada tak jauh dari kursi, memandang ku penuh harap. Ketika amplop ku buka aku langsung menggeleng pelan, sorot mataku berubah sendu. Kekecewaan segera menyergap dalam benakku. Aku seolah tak mendengar teriakkan bahagia, teman-teman di sekelilingku. Kebanyakan dari mereka cukup puas dengan nilai yang ‘pas-pasan’. Sedang aku ? mungkin aku satu-satunya yang tidak bahagia menghadapi kelulusan ku. Bagaimana bisa dengan Num total 25,70. Benar-benar nilai yang pas untuk kemalasan yang ku perbuat. Setengah mati aku heran dengan teman-teman ku yang gembiranya bukan main dengan Num rata-rata enam atau tujuh merepet. Aku sanksi, mereka tak memiliki kewarasan jiwa sekarang. Ketika memberi tahu nilai ku pada mama, tak sekalipun aku berani menatap matanya. Takut jika pancaran kekecewaan-nya tertangkap mata ku. Dan aku, iri setengah mati dengan Dhita, sahabat ku. Selain sudah diterima secara mandiri oleh SMPN 1 dia mendapat NUM 27.00, tak sedikit pun pancaran kebahagiaan surut dari matanya.
Tidak seperti Dhita yang sudah tahu pasti dia akan bersekolah dimana, saat ini aku sedang kalang-kabutnya. Aku juga tidak seperti Karin yang meski hanya memiliki Num 24.45 dia sudah di pastikan akan masuk SMP 21. Tempat dimana ibunya bekerja sebagai karyawan tata usaha. Aku mendesah kecewa, seolah harapan ku telah terkubur hidup-hidup disini.
Padahal aku selalu berharap dapat sekolah di SMP yang bagus, karena aku yakin Edo pasti sekolah di sekitar –kalo gak smp 3 ya 1- aku selalu yakin akan hal itu. Dilihat dari kecerdasaannya, itu takkan mustahil. Namun dari dua kategori SMP itu, tak satupun aku masuk di salah satunya. Padahal aku sangat mengharapkan hal itu, ketika aku dan dia satu sekolahan
Edo, namanya masih jelas terpatri dalam benakku. Nama itu bagaikan harta di lautan hati yang biru. Indah nan terjaga. Kenangannya masih hangat ku rasa, menyelimuti tubuh ku, menyentuh sanubari ku. Dan memberiku keindahannya. Dia adalah sebuah keindahaan fana yang kumiliki.
Akhirnya aku masuk SMP 20, tak lagi kumiliki guratan kekecewaan itu dalam hati ku. Aku menerimanya, apa yang seharusnya ku terima atas segala yang kulakukan. Aku menjalani hari ku dengan segala kesibukan. Hingga aku hampir sampai lupa akan Edo.

*******

Entahlah aku tidak kaget, mendapati dua sahabat SD ku bertengger di kasur ku. Sangat rapi hingga sepraiku hampir lepas dari habitat-nya. Mereka adalah Dhita dan Karin. Dua orang yang paling dekat denganku saat ini. Setelah aku menaruh tas, dan mengambil tiga aqua gelas untuk mereka. Aku segera menanyakan maksud mereka kesini. Tumben banget, biasanya hanya lewat sms atau telepon.
“Dhita udah jadian lho is” seru Karin riang, ketara banget yang diincarnya adalah PeJe. Namun aku juga tidak dapat menyembukan keterkejutan ku
Belum habis rasa syokku Dhita langsung menyuruhku ganti baju, dia ingin meneraktir kami. Di tengah perjalan aku tak henti-hentinya memohon pada Dhita untuk memberi tahu siapa si do’i. Tapi dasar Dhita, dia terlalu keras pada pendiriannya. Tapi aku tahu satu hal. Pokoknya lelaki itu satu sekolah sengan Dhita.
Tapi hari ini sungguh aku terpana pada penampilan yang Dhita. Dia memakai gaun terusan panjang selutut bewarna merah marun, dipadukan dengan kulitnya yang putih sungguh menabjubkan, apalagi dia tinggi dan mempunyai wajah yang asli cantik, menambah pas penampilannya. Dia mengecat kukunya dengan warna krem, menambahkan sedikit blush-on di pipi nya. Membuat pipinya yang putih menjadi memerah. Menawan. Pikirku. Apalagi rambutnya yang di gulung menampkkan tengkuknya. Bahkan menurut ku penampilan ini terlalu berani untuk anak seumurannya. Huh sejak kapan dia jadi pintar dandan ? padahal aku dan Karin hanya mengenakkan kaos oblong biasa dipadukan dengan celana jins panjang. Bahkan aku menambahkan balutan jaket yang mungkin agak kurang enak di pandang karena terlalu tebal di tubuhku.
Ternyata kami di teraktir di kampoeng stiek. Tak lama setelah kami duduk, bunyi deruman motor berhenti, terparkir di tempat ini. Aku yang sedang mengamati daftar menu tidak begitu memperhatikan, tambahan satu orang di antara kami
“hai” sapanya, mencoba mencairkan suasana. Mendengar suara itu aku langsung terlonjak kaget. Jantungku tak henti-hentinya mempercepat laju kerjanya. Mataku tidak berkedip memandangnya. Laki-laki di depan ku ini, persis, bukan sama malah !! dia harta karun ku, kebahagiaan ku, kenangan ku. Dia.. EDO !! nafas ku tercekat, mungkin lupa cara menarik nafas yang benar.
Dia masih hampir sama dengan yang dulu, kuitnya masih putih. Masa terdapat kejenakaan di matanya. Bedanya, dia makin tinggi, suaranya memberat, namun ada satu hal yang paling aku sukai belum berubah darinya. Senyumnya, masih semenawan dulu. Kata-katanya tetap manis, malah lebih manis ketika ia berbicara dengan Dhita, daripada dengan ku dulu. Tapi itu menyesakkan ku. Meski aku tak tahu kenapa. Api membakar dadaku perlahan, menghanguskan segalanya hingga tak berbekas
Tak ada yang sadar dengan perubahan emosi ku. Namun aku bersyukur, runyam menerangkannya. Sebenarnya aku berharap Edo saja yang menceritakan tentang ‘kita’. Namun harap hanya sekedar harap. Karena kini rasanya duniaku berpijak serta merta hancur, semua pandang ku gelap. Tubuhku kaku tak merespons otak.
“namaku Edo” katanya memperkenalkan diri seraya mengulurkan tangannya padaku. Sangat sopan, yang sebenarnya tak pantas ku dapatkan
Tapi masa bodoh di bilang nggak sopan tau apa. Aku hanya membalas sapanya masam “ais” balas ku dengan segala kemarahan yang membuncah di dadaku. Aku pura-pura tak melihat pandangan Dhita terhadap ku, begitu mencengkram dan emmm.. menakutkan.
Namun, amarah ku mengalah kan itu semua. Dalam percakapan kami, sengaja ku jelaskan ciri-ciriku semua, hal yang ku kira Edo pasti bakal tahu. Namun, dia melupakkannya. Kurasakan berbagai kenangan kini mengahantam tubuh ku. Mengiris bagaian hatiku kecil-kecil, meninggalkan bekas luka yang dalam.
Aku tak berniat menceritakan diriku padanya secara paksa. Karena yang kuingin dia mengingat ku sendiri. Asli dari lubuk hatinya. Namun itu mustahil, karena aku baginya hanyalah sebuah angin lalu yang pernah memasuki hatinya. Yang tak pernah meninggalkan bekas dalam langkahnya. Aku bukan lagi siapa baginya, selain teman pacarnya
Ingatan ku kembali ketika itu, ketika ia memanggilku dengan suara cemprengnya, ketika aku dan dia tertawa bersama, segalanya dengan dia. Saat ini semua itu bagai mimpi. Air mata ku tertahan di pelupuk. Membuat ku tak berani memandangnya. Karena jika terjadi saat itu juga aku bagai terhunus pedang tajam yang akan langsung membunuhku seketika.
Aku tak peduli dia pacaran dengan temanku, dan bukan karena itu aku marah. Aku hanya.. terluka. Mungkin kata itu sangat tepat terluka. Aku merasa seperti di khianati oleh teman yang paling ku percaya. Buat apa penantian ku selama ini ? hanya untuk di lupakan kah ? menyakitkan, bahkan aku tak percaya itu terjadi padaku. Terlalu tiba-tiba dan sekejab. Tak sedikit pun aku memprekdisi hal ini. Karena takdir memang sebuah kejutan, entah itu menyakitkan maupun menyenangkan. Namun waktu yang akan melenyap kan dua hal itu darimu, dia akan mengobati bekas luka mu, melenyapkan kegembiraan dari hati mu. Dan dia pula yang membuat Edo, lupa padaku. Semua ini karena waktu mengubah segalanya.  Biarlah untuk kali ini aku hanya menyalahkan waktu karena aku tak tahu lagi, apa dan siapa yang bisa ku salahkan. Aku hanya ingin menghibur diriku sendiri, hingga nanti. Sampai waktu yang akan membereskannya dan dengan perlahan menutup lubang kecil di hati ku.     

1 komentar: